Saturday, August 9, 2008

Hapus Hukuman Mati

Hidup adalah anugerah Allah. Mencabut nyawa manusia, apapun itu alasannya merupakan pengingkaran terhadap anugerah yang diberikan oleh Allah. Blog ini mengajak siapa saja tanpa melihat asal usul, agama, suku serta apapun yang selama ini dianggap sebagai pembeda, untuk bersatu menolak hukuman mati

amrozi dan imam samudra

amrozi dan imam samudra

salah hukum di toraja

Kasus Toraja

Kasus dugaan salah tangkap, salah tahan, dan salah vonis yang menimpa terpidana kasus pembunuhan terhadap Syifa bukan kali pertama terjadi di Sulsel. Kasus serupa pernah menimpa salah satu terdakwa kasus pembunuhan sepasang suami istri di Kecamatan Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja, Desember 2005 lalu. Kasus itu mendudukkan terdakwa Benidigtus Budi Sofyan, seorang karyawan perusahaan telekomunikasi di Makassar. Ia ditangkap polisi kemudian diserahkan ke Kejari Makale. PN Makale menjatuhkan vonis terhadap Benidigtus dengan hukuman penjara seumur hidup, November 2006 lalu. Namun dalam sidang banding kasus tersebut di PT Sulselbar yang digelar di PN Makassar, Februari 2007 lalu, Benidigtus dinyatakan terbukti tidak bersalah. Pada sidang kasus tersebut, pakar telematika KRMT Roy Surya diajukan sebagai saksi ahli. Roy hadir memberikan penjelasan bahwa rekaman CCTV di kantor terpidana yang merekam keberadaan Budi adalah asli tanpa rekayasa. Rekaman itu dijadikan terdakwa sebagai alibi atau pernyataan keberadaan dirinya pada hari kejadian tersebut. Rekaman CCTV tersebut sengaja diperlihatkan oleh penasihat hukum terdakwa Titi Slamet cs dengan tujuan membantah keterangan sebagian terdakwa lainnya. Pada kasus ini ada delapan terdakwa yang disidang di pengadikan. Sebagian di antaranya mengaku melihat terdakwa berada di Toraja saat kejadian (dari www.tribun-timur.com/view.php?id=95198&jenis=Front)

Sudirman Yusuf (kiri) dan Ibrahim Tutu (dari http://www.liputan6.com/news/berita.php?id=164809)

SALAH MENGHUKUM ORANG (LAGI)


MA Bebaskan Terpidana Pemerkosa di Antang
Makassar, Tribun - Mahkamah Agung (MA) RI membebaskan tiga terpidana kasus pemerkosaan dan pembunuhan bocah bernama Syifa Salwani Elok (4). Kasus tersebut terjadi di Jl Masjid Muhajdirin, Antang, Kecamatan Manggala, Makassar, Juli tahun 2007 lalu. Ketiga terpidana tersebut adalah dalah Ibrahim Tutu (20), Hamka (16), dan Sudirman Yusuf alias Sudi (17) Pengacara bersama keluarga terpidana menyampaikan petikan putusan kasasi MA tersebut ke kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar, Selasa (2/9).

Ketiga terpidana divonis di Pengadilan Negeri (PN) Makassar dengan hukuman berbeda. Ibrahim dijatuhi vonis 13 tahun penjara sedangkan Hamka dan Sudirman divonis dengan hukuman yang sama, enam tahun pejara. Ketiganya lalu banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Sulselbar. Namun majelis hakim banding di PT Sulsel menguatkan vonis hukuman Ibrahim dan menambah hukuman menjadi 12 tahun kepada Hamka dan Sudirman. Putusan PT tertanggal 4 Januari lalu menguatkan dan menambah hukuman yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada penghujung 2007 lalu. PN menjatuhkan vonis hukuman 13 tahun penjara bagi Ibrahim, dan masing-masing enam tahun kepada Hamka dan Sudirman.

Tidak Terbukti
Majelis hakim kasasi MA dalam pada 31 Juli lalu memutuskan membatalkan putusan PT Sulsel tersebut. Hasil rapat hakim agung itu kemudian menjadi putusan kasasi yang mengabulkan permohonan kasasi penasihat hukum terpidana kasus tersebut dan menyatakan membatalkan putusan PT Sulsel. Pada petikan putusan MA Nomor: 562/TU/2008/867K/Pid.sus/2008 tertanggal 11 Agustus 2008 itu terungkap bahwa para terdakwa tidak cukup bukti telah melakukan pemerkosaan dan pembunuhan. Petikan putusan MA itu ditandatangani Panitera Muda Pidana Khusus Suhadi. Petikan putusan tersebut ditembuskan kepada Ketua PT Sulselbar di Makassar dan Kepala Rutan Makassar. Petikan putusan perkara dari MA itu baru diterima oleh keluarga terpidana, pekan lalu.

Di Sumur
Korban Syifa ditemukan di dalam sumur yang letaknya tak jauh dari rumah korban. Ketiga terpidana juga masih kerabat dekat korban. Salah satu pertimbangan hakim yang membedakan vonis hukuman terhadap para terdakwa saat itu adalah Ibrahim dinilai sudah tergolong orang dewasa karenausianya lebih 18 tahun. Sedangkan Sudirman dan Hamka masih tergolong masih di bawah umum karena saat kejadian, usianya belum genap 18 tahun. Jaksa penuntut umum kasus tersebut adalah Bambang. Sementara anggota Polresta Makassar Timur yang menyidik kasus tersebut adalah Ishak, Mansur, dan Hasanuddin.

Salah Tangkap
Kasus ini awalnya ditangani Polresta Makassar Timur yang mengambilalih dari Polsekta Manggala setelah sebelumnya juga terjadi salah tangkap. Awalnya Polsekta Manggala menangkap Ambo Tuwo (40). Tetangga korban ini dicurigai sebagai pelaku dan sempat mendekam di sel tahanan Mapolsekta Manggala. Namun polisi kemudian melepaskan karena tidak cukup bukti. Menurut penuturan keluarga Ambo, pria tersebut disiksa oleh polisi agar mau mengakui perbuatannya. Penyidikan kasus itu pun diambil alih oleh Polresta Makassar Timur yang kemudian menangkap dan menahan Ibrahim, Sudirman, dan Hamka. Setelah merampungkan berkas penyidikannya, ketiga tersangka kemudian dilimpahkan polisi ke Kejari Makassar untuk menyusun tuntutan. Kejari kemudian melimpahkan berkas tersangka ke PN Makassar. Sidang kasus berlangsung sekitar tiga bulan.


HUKUMAN MATI DAN LICENCE TO KILL

Tiga Serangkai Imam Samudra, Ali Gufron dan Amrozi akan dieksekusi mati. Berakhir sudah upaya yang dilakukan oleh para pengacara mereka untuk membatalkan eksekusi itu dengan melakukan beberapa kali upaya Peninjauan Kembali (PK) perkara mereka

Sekedar mengingatkan saja bahwa merekalah yang pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 meledakkan bom di Kuta dan memakan korban 202 jiwa serta mencederai 209 orang yang lain, kebanyakan merupakan wisatawan asing.

Peristiwa peledakan bom di Pantai Kuta yang dikenal dengan nama Bom Bali I telah merubah pandangan kita yang selama ini menganggap bahwa Bali adalah tempat yang sangat aman, yang sama kita pelihara keamanannya karena merupakan pintu gerbang masuk ke Indonesia. Pemboman itu menyadarkan kita bahwa Bali justru merupakan target yang sangat diincar para teroris karena sasaran mereka justru banyak tersedia di Bali.

Eksekusi itu tentu melegakan banyak pihak. Baik korban, keluarga korban, orang-orang yang menanggung dampak dari pemboman itu yang memang membawa akibat yang besar terutama bagi ekonomi Bali, maupun para penegak hukum yang berusaha sangat keras untuk memulihkan citra Indonesia di mata internasional

Tiga serangkai tersebut dijerat dengan pasal-pasal pada Undang-Undang Anti Terorisme. Selain undang-undang anti terorisme masih ada beberapa undang-undang yang memiliki ancaman hukuman mati seperti Undang-Undang Anti Narkotika, Undang-Undang Anti Korupsi selain KUHP itu sendiri

Setelah mereka bertiga, menurut Kontras, saat ini paling tidak ada 112 orang yang menunggu eksekusi. Mereka itu terdiri dari 53 orang untuk kasus pembunuhan, 4 untuk kasus terorisme dan 55 untuk kasus narkoba

Namun setiap kali ada pelaksanaan hukuman mati selalu saja muncul pertanyaan apakah hukuman mati masih pantas diberlakukan pada masa kesadaran akan hak asasi manusia (HAM) semakin meningkat?

Para pendukung hukuman mati akan mengatakan bahwa Undang-Undang mengijinkan hal tersebut. Namun harus diingat bahwa hukum pidana kita masih mengikuti hukum kolonial Belanda sementara pandangan mengenai nilai-nilai kemanusiaan terus berkembang dan ini membawa dampak jumlah negara yang menghapus hukuman mati terus bertambah. Sudah ada 142 negara yang menghapus hukuman mati sementara yang masih menerapkan hukuman mati 55 negara

Hukuman mati menjadi aneh apabila kita melihat bahwa UUD 1945 mengakui adanya hak hidup sebagaimana tercantum dalam pasal 28 I ayat 1 amandemen II “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk

Hukuman mati menjadi aneh apabila kita melihat bahwa UUD 1945 mengakui adanya hak hidup sebagaimana tercantum dalam pasal 28 I ayat 1 amandemen IIHak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” . Dengan pengakuan tersebut maka secara hirarkis peraturan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan aturan tersebut

Memang ada pembatasan terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan dimana orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Namun pembatasan itu juga tidak berarti memberi hak kepada pihak lain untuk melakukan pelanggaran kepada orang ataupun kelompok orang yang melakukan pelanggaran itu sendiri.

Selain karena alasan hak asasi, hukuman mati juga mengandung resiko yang sangat tinggi apabila ternyata hakim keliru dalam mengambil keputusan. Dan ini bukan hal yang mustahil.

Menurut Aliansi Hapus Hukuman Mati (HATI), dari tahun 1973 sampai dengan 2006 ada 123 terpidana mati di Amerika dibebaskan setelah diketemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas kejahatan yang dituduhkan kepada mereka. Kekeliruan tersebut disebabkan antara lain karena kepolisian yang tidak bekerja dengan baik atau tidak tersedianya pembela hukum yang memadai. Ini terjadi di Amerika, negara yang dianggap memiliki sistem hukum yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa manusia bisa salah. Dan apabila hukuman mati itu sudah dilaksanakan dan ternyata salah, maka kesalahan tersebut tidak bisa diperbaiki.

Di Indonesia tentu kita sangat mengenal kisah Sengkon dan Karta pada tahun 1974 dan Risman Lakoro serta Rostin Mahaji dari Gorontalo pada tahun 2002, yang dihukum karena tuduhan pembunuhan. Apa jadinya apabila hukuman yang dijatuhkan untuk pembunuhan yang disangkakan kepada mereka itu diganjar dengan hukuman mati?. Kita tahu bahwa pembunuh yang sebenarnya pada kasus yang dituduhkan kepada Sengkon dan Karta kemudian tertungkap sementara pada kasus Risan Lakoro dan Rostin Mahaji malahan korban yang diduga mereka bunuh kemudian muncul dalam keadaan sehat.

Efektivitas hukuman mati sebagai sarana untuk membuat jera juga patut dipertanyakan. Menurut survei yang dilakukan oleh PBB pada tahun 1998 dan 2002 seperti yang dilansir oleh HATI tentang hubungan antara praktik hukuman mati dengan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan bahwa praktik hukuman mati tidak lebih baik daripada hukuman penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera. Begitu juga dengan hukuman mati pada kasus narkoba. Belum lagi untuk kasus-kasus terorisme seperti pada kasus Bom Bali I ini yang bukannya membuat pelaku menyesal tetapi mereka bahkan merasa menjadi pahlawan dan dijadikan pahlawan oleh orang-orang yang sealiran dengan mereka.

Hak hidup adalah hak yang melekat pada diri manusia. Hak yang asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak ini tidak diberikan oleh negara sehingga tentu juga tidak bisa diambil oleh negara. Lantas apabila kemudian negara mengambil hak hidup itu, darimana wewenang mengambil hak hidup itu berasal?

Bagaimana dengan hak asasi dari para korban?. Itulah yang telah dilanggar oleh para pelaku, baik itu pembunuhan atau pengeboman ataupun tindak pidana lain. Untuk itulah mereka telah diadili dan dihukum. Namun tentunya tanpa melanggar hak asasi mereka.

Hukuman mati merupakan sebuah pelanggaran atas hak hidup.

(Kedaulatan Rakyat, Jumat 31 Oktober 2008 hal 14)